Trilogis.id_(Tajuk/Opini)– Sungguh pemandangan yang menyentuh jiwa. Setelah kunjungan dan pidato inspiratif dari Bapak Menteri mengenai pentingnya kebersihan lingkungan dan kemajuan bangsa, area yang baru saja digunakan untuk acara meriah tersebut kini terhampar bak permadani putih.
Namun, karpet ini bukanlah beludru mewah, melainkan sampah plastik sekali pakai, sisa makanan, dan botol kemasan yang berserakan dengan anggunnya di atas rumput hijau. Sebuah kontras yang begitu “indah” antara gemerlap roda ferris dan lampu malam dengan kenyataan bahwa kesadaran menjaga kebersihan hanya sebatas wacana di podium.
Ah, tampaknya masyarakat kita memang berlomba-lomba memberikan “tanda mata” terbaik mereka kepada alam.
Ironi Yang Menggugah Selera: Pahlawan Kebersihan Tak Sempat Menyambut
Sementara tumpukan plastik dan kertas itu menunggu giliran untuk diangkut, kabar lain datang dari “pahlawan” yang bertugas membersihkannya.
Para Petugas Kebersihan (atau akrab disapa cleaning service), yang jasanya sangat dibutuhkan untuk menghilangkan “jejak peradaban” yang tertinggal, kini sedang menikmati liburan paksa yang sangat panjang.
Bagaimana tidak, kabar menyebutkan bahwa mereka telah empat bulan lamanya diberi kesempatan untuk berpuasa dari menerima hak mereka: gaji yang seharusnya.
Sungguh mulia sekali perlakuan ini! Pemerintah seolah memberikan hadiah berupa ujian kesabaran tingkat dewa bagi para pekerja garis depan. Alih-alih mendapatkan imbalan yang layak untuk menjaga wajah publik tetap bersih, mereka justru “diajak” berhemat luar biasa—empat bulan tanpa gaji.
Sepertinya para pengambil kebijakan percaya bahwa pekerjaan suci ini cukup dibayar dengan rasa bangga, sementara perut, sewa rumah, dan biaya sekolah anak hanyalah detail kecil yang tidak penting.
Tentu saja, dengan tumpukan sampah yang menjulang tinggi pasca-kunjungan dan gaji petugas kebersihan yang terbayar lunas dalam janji manis, kita bisa tidur nyenyak.
Negara ini benar-benar sedang menunjukkan prioritasnya dengan sangat jelas dan mengagumkan! Betapa indahnya melihat para petinggi sibuk berurusan dengan citra, sementara orang-orang yang membuat citra itu mungkin saja kesulitan membeli sebungkus nasi. Sebuah ironi yang sempurna.












