Trilogis.id_(Tajuk Lingkungan) — Dusun Sambati di Desa Dulupi tampak tenang dari luar, tetapi di dalamnya alam sedang berbicara dengan cara yang pelan namun tegas. Ia berbicara lewat air yang tak lagi mengalir, lewat saluran yang tertutup sedimentasi, lewat genangan yang tak kunjung surut setiap kali hujan datang. Suara alam itu kini diteruskan oleh warga—bukan dalam bentuk teriakan, melainkan dalam permintaan sederhana: “Lakukan pengerukan, kembalikan aliran air seperti dulu.”
Bagi banyak orang, permintaan itu mungkin terdengar sepele. Namun jika dicermati lebih dalam, suara warga Sambati adalah refleksi dari keresahan ekologis yang meluas: tentang rusaknya keseimbangan antara manusia dan lingkungannya.
Di balik saluran yang dangkal, tersimpan kisah panjang tentang perubahan tata ruang, berkurangnya daerah resapan air, dan hilangnya kepedulian terhadap sistem alami yang selama ini menopang kehidupan.
Air, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini menjadi ancaman karena tak lagi memiliki jalan untuk mengalir. Sedimentasi yang menumpuk adalah hasil dari kombinasi banyak hal—aliran permukaan tanpa vegetasi, sampah rumah tangga yang terseret hujan, dan tak adanya perawatan rutin dari pemerintah daerah.
Akibatnya, alam memberi peringatan dengan caranya sendiri: banjir kecil, genangan, dan munculnya penyakit dari air yang tergenang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Warga Sambati sadar bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam. Itulah mengapa permintaan pengerukan yang mereka ajukan bukan hanya demi kenyamanan manusia, tetapi juga demi keberlangsungan lingkungan di sekitarnya. Dalam pandangan mereka, memperlancar aliran air berarti mengembalikan keseimbangan alami antara tanah, air, dan udara—tiga elemen dasar yang menopang kehidupan desa.
Ironisnya, dalam banyak kebijakan pembangunan daerah, tindakan-tindakan kecil seperti pengerukan atau pembersihan saluran seringkali luput dari perhatian.
Pemerintah lebih sering terpesona pada proyek besar—bendungan, tanggul, atau jalan—tanpa menyadari bahwa dasar dari pengelolaan lingkungan justru terletak pada hal-hal sederhana yang terus dijaga secara rutin.
Pengerukan bukan hanya kerja fisik, tetapi bentuk komunikasi manusia dengan alam: membersihkan jalur air agar ia bisa bernapas kembali.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu merenungi perannya. Sedimentasi tidak muncul begitu saja; ia adalah hasil dari perilaku yang menumpuk dari waktu ke waktu. Sampah yang dibuang sembarangan, pembukaan lahan tanpa reboisasi, hingga hilangnya kebiasaan gotong royong membersihkan lingkungan turut memperparah keadaan.
Menjaga alam bukan tugas pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama. Setiap warga yang menanam pohon di pinggir saluran, setiap keluarga yang mengelola sampah rumah tangganya, sedang menulis ulang kisah baik antara manusia dan bumi.
Dusun Sambati telah memberi contoh tentang bagaimana masyarakat masih memiliki kepekaan terhadap suara alam. Mereka tidak menunggu sampai banjir besar datang, tidak menunggu penyakit merebak, baru bertindak. Mereka memulai dengan menyuarakan harapan. Harapan agar pemerintah tak sekadar mendengar, tetapi bertindak nyata.
Pemerintah Desa Dulupi memang telah menyatakan kesiapannya untuk berkoordinasi dengan instansi teknis dalam menindaklanjuti aspirasi warga. Namun tanggung jawab ekologis tidak berhenti di rapat atau berita acara. Ia membutuhkan tindakan berkelanjutan—pemetaan ulang saluran air, edukasi lingkungan, dan kebijakan desa yang berpihak pada kelestarian alam.
Dalam konteks yang lebih luas, apa yang terjadi di Sambati adalah potret kecil dari tantangan ekologis Indonesia hari ini. Ketika sistem drainase perkotaan rusak, hutan hilang, dan tanah kehilangan daya serapnya, maka bencana akan selalu berulang. Kita lupa bahwa alam tidak pernah menuntut balasan yang besar—ia hanya menuntut keseimbangan.
Pengerukan saluran mungkin tampak seperti pekerjaan teknis, tapi bagi warga Sambati, itu adalah simbol rekonsiliasi dengan alam. Sebuah langkah kecil yang mengajarkan makna besar: bahwa merawat bumi bisa dimulai dari membersihkan jalur air di depan rumah kita sendiri.
Jika pemerintah daerah benar-benar mendengarkan, maka pengerukan di Sambati bukan hanya akan mengalirkan air kembali ke sungai, tetapi juga mengalirkan kesadaran—bahwa menjaga lingkungan bukan proyek sesaat, melainkan peradaban yang harus dijaga.
Penulis : Kaka Enda