Trilogis.id (Boalemo) – Pemilihan Pilkades serentak secara E-Voting yang digelar di Kabupten Boalemo semakin mengundang perhatian dari sejumlah pihak.
Sempat mendapatkan kritikan hingga penolakan karena dinilai tidak efektif dan efisien, Pesta Demokrasi ditingkat desa ini dinilai belum seharusnya dilaksnakan oleh Pemerintah dikabupaten Boalemo.
Pasalnya, dari regulasi yang tidak mengatur keseluruhan mekanisme tahapan hingga pada ketika terjadi sengketa, Pemerintah Daerah dinilai dan terkesan ‘memaksakan’ karena menghambur-hamburkan uang daerah hingga salah satu pengamat demokrasi Guslan Batalipu memberikan Sorotan untuk Sekretaris Daerah sebagai Ketua Panitia Pilkades Serentak secara E-Voting tingkat Kabupaten Boalemo sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai Sekretaris Daerah Sherman Moridu harusnya bisa memberikan informasi yang valid. Sekda sebagai jabatan tertinggi eksekutif (ASN) di daerah wajib memberikan informasi yang tidak menyesatkan ditengah arus disinformasi saat sini. Dalam lansiran harianpost.id (28/11/2022) Sekda mengatakan bahwa pilkades dengan sistem saat ini memiliki ketepatan dan kelebihan. Hal tersebut tidak sesuai fakta, dimana pilkades di desa Pentadu Barat kemarin memiliki selisih suara antara DPT (Daftar Pemilih Tetap) dengan hasil rekapitulasi suara sebanyak 12. Fakta lainnya pilkades didesa bajo sempat ditunda karena mesin elektronik yang digunakan hangus. Maka jelas sekda berbohong. Bahkan yang dikatakan itu “omong kosong” belaka.
Seorang khalifah dalam kebudayaan Gorontalo, jelas mensaratkan pemimpin yang jujur dan amanah, dilihat mulai dari penuturan, sampai pada tindak tanduknya. Sebagaimana bahasa adat Gorontalo yang mahsyur yakni “Loiya Lo Tauwa, Tauwa Lo Loiya” (Perkataan seorang pemimpin itu adalah perkataan yang agung), jadi apabila seorang khalifah berbohong/menyebar hoaks, maka itu kebohongan yang agung.
Jika dilihat dari sisi lain yang sesungguhnya masih berkaitan dengan kemelut pilkades boalemo, ada beberapa hal yang melatarbelakanginya : pertama, tidak adanya regulasi yang mapan (settled). Kedua, ketidakjelasan lembaga penyelenggara pemilu akibatnya tidak ada mekanisme kontrol. Ketiga, ketidakpahaman panitia pelaksana yang ada. Keempat, manajemen keuangan yang buruk dan tidak tepat. Hal ini tentu luput dari Ketua Panitia Pilkades Kabupaten yaitu Sekda.
Dari keempat indikator diatas paling tidak yang banyak di perhatikan (notice) oleh kalangan aktivis dan masyarakat adalah masalah anggaran. Maka, menarik untuk diawasi soal bagaimana pengelolaan anggaran yang buruk itu, sangat jelas terlihat dari pola distribusi anggaran yang lebih dominan ke panitia kabupaten ketimbang panitia di desa. Padahal beban kerja dan risiko hukum cenderung memberatkan desa.
Akhirnya, disinilah kegagalan seorang Sekda nampak jelas dan terang, bahwa melihat persoalan kerakyatan hanya dari menara gading. Dan disisi lain momentum pilkades saat ini, kelihatannya dibuat gelap dan tidak transparan ke rakyat. Betapa tidak, Sekda tidak pernah transparan ke publik terkait hal ini, Sekda justru menunjukan ilusi-ilusi baik untuk menyihir rakyat dengan kata-kata bohong. Seandainya rakyat Boalemo tahu, bahwa anggaran sebanyak 800 juta rupiah adalah hasil pajak rakyat yang harus diawasi itu, diguanakan seefektif mungkin untuk daerah. Maka, berapa banyak orang yang akan terselamatkan jika dibandingkan dengan beberapa orang dalam kepanitiaan pilkades kabupaten (Pankab) yang memperoleh manfaatnya. Patut di duga! Apa jangan-jangan ada permainan antara Sekda Boalemo dan Panitia Pilkades Kabupaten terkait anggaran pilkades 2022?
Sekian.