MENGINGAT LUPA, MENJEMPUT DUKA, MUHARRAM TELAH TIBA

- Jurnalis

Senin, 24 Agustus 2020 - 20:31 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Man Muhammad. Penikmat Kopi

Man Muhammad. Penikmat Kopi

Trilogis.id

Fajar sembilan Muharram mulai menyingsing. Kicauan burung-burung yang diiringi deru mesin kendaraan, seperti perpaduan musik klasik dan modern. Yang tercipta secara alamiah, khusus didendangkan untuk menjemput datangnya mentari pagi. Layaknya hari-hari biasa, tidak ada yang istimewa dengan hari itu. Pemandangan yang menghiasi jalan di Desa Pilitode, seperti yang sudah-sudah. Pegawai yang pergi ke kantor, petani yang ke ladang, nelayan yang baru sampai di darat setelah semalaman mengais nafkah di lautan luas dan, anak-anak kecil yang riang gembira berjalan bergerombolan menuju sekolah masing-masing.

Berbeda dengan Dicky. Anak kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kota Heritage yang bernama asli Muhammad Dhiaullah ini tidak ikut pergi ke sekolah bersama teman-teman sebayanya. Padahal, hari itu bukan hari libur dan dia bukan anak nakal yang mendapatkan skorsing karena melakukan pelanggaran berat. Malah sebaliknya, Dicky termasuk salah satu siswa berprestasi yang di setiap penyelenggaraan kejuaraan baik di tingkat daerah atau nasional, selalu mengharumkan nama SMA Negeri 1 Heritage. Di desa Pilitode pun, dia termasuk dalam kelompok anak usia remaja yang meramaikan masjid. Selalu ikut pengajian bersama bapak-bapak, dan sering kali terlibat di balai desa saat ada diskusi dan musyawarah yang dilakukan oleh warga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebagai anak remaja yang akrab dengan berbagai macam buku, terkadang Dicky dimintai pendapat atau biasanya mengajukan saran tanpa diminta. Dan tidak jarang, pendapat atau saran yang dikemukakan olehnya, menjadi pertimbangan tersendiri bagi masyarakat desa Pilitode.

Memang, sejak memasuki Muharrahm, Dicky yang periang mendadak berubah menjadi pendiam. Hampir begitu setiap tahunnya setiap kali Muharram tiba. Dia lebih banyak mengisi waktunya dengan berdiam diri di rumah, atau sekali-kali naik ke atas bukit di desanya.

Melihat tingkah Dicky setiap tahun seperti ini –seingat mereka sudah hampir tiga tahun sejak dia masuk ke SMA Heritage— membuat warga di desanya penasaran sekaligus bercampur sedih. Akhirnya, bersepakatlah warga yang diwakili oleh orang-orang tua desa Pilitode untuk menemui Dicky dan menanyakan apa masalahnya. Lalu mencoba menawarkan solusi jika itu bisa membantunya. Paling tidak, mereka tidak ingin remaja seperti Dicky merasa sendirian saat ada masalah.

Namun, di sisi lain, jika masalah yang dihadapinya adalah masalah ekonomi, sepertinya tidak mungkin. Kedua orang tuanya adalah orang terkenal dan paling kaya di desa Pilitode bahkan se-kota Heritage. Mereka memiliki banyak usaha-usaha besar di tiap-tiap kota yang ada di Indonesia. Masalah keluarga, sepertinya juga bukan. Meskipun kaya raya, ayah dan ibunya lebih sering berada di rumah. Karena bisnis keluarga mereka sudah dijalankan oleh dua orang kakaknya. Semuanya terlihat baik-baik saja tanpa masalah.

Jika demikian, lalu apa masalahnya?

~~

Selepas shalat Ashar, setelah semuanya berkumpul sesuai waktu dan tempat yang telah disepakati, berjalanlah mereka menuju rumah Dicky yang tidak jauh dari masjid besar di desa Pilitode. Namun, sesampainya mereka, Dicky ternyata tidak berada di rumah, dan sesuai informasi yang diberikan oleh Mbok Yem, pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh Dicky sejak kecil bahwa Dicky berada di bukit yang berada di perkebunan warga. Orang-orang pun tak berpikir panjang, mereka langsung menuju bukit yang dimaksud oleh Mbok Yem.

Dicky yang sedang berbaring langsung beranjak bangun saat warga yang bersepakat itu tiba di atas bukit. “Ternyata, indah juga pemandangan yang bisa kita nikmati dari atas bukit ini. Coba perhatikan, desa kita yang masih asri nan hijau, para petani yang bekerja di ladang, dan orang-orang yang berlalu lalang di jalanan, terlihat jelas dari sini. Pantas saja kamu betah berlama-lama di atas bukit. Ini toh alasannya,” ujar pak Sobri, ketua takmirul masjid Al Mahabbah mencoba membuka pembicaraan. “Iya, pak. Sepertinya, aku juga harus sering-sering berlama-lama di atas bukit ini. Biar bisa jadi cerdas kayak Dicky,” timpal Iqra, teman sepermainan Dicky yang selalu gagal masuk Polisi dan beralih status jadi marbot masjid.

“Ada apa, Dicky? Kami perhatikan, sudah beberapa tahun terakhir ini setiap kali memasuki Muharram, kamu terlihat muram dan bersedih, seakan ada beban besar yang menyelimuti pikiranmu,” tanya pak Totok sambil melihat ke arah Dicky. “Ah, bapak. Saya tidak apa-apa, pak. Hanya ingin menyendiri dan mensyukuri nikmat Tuhan yang selama ini dianugerahkan kepada saya,” jawab Dicky sambil memaksakan seutas seyum dari bibirnya.

“Tak perlu berkelak, Dicky. Tingkah dan raut kesedihan di wajahmu sangat nampak. Ceritakanlah kepada kami apa yang membuatmu seperti ini. Barangkali, dengan mendengar ceritamu kami bisa membantu mencarikan solusi,” tambah pak Rauf, imam masjid yang rambutnya sudah memutih semuanya. “Dicky lagi jatuh cinta, pak. Tapi, cintanya ditolak oleh Maryam, kembang desa sebelah,” teriak Rio, mantan preman putus sekolah yang jadi rajin shalat lima waktu di masjid karena berkawan dengan Dicky. “Hah? benar demikian, Dicky? Tapi, masa iya setiap Muharram kamu bersedih? Apa setiap tahun cintamu ditolak?” lanjut pak Totok sambil tersenyum dan diikuti gelak tawa oleh orang-orang yang berkumpul di atas bukit. “Gak benar lah, pak. Bang Rio suka mengada-ngada. Saya selalu ingat pesan pak Rauf setahun yang lalu; Walii fi Thilabil Fadhli wal Ilmi wattuqa’ # Ginan ‘an Ginaa-il Ghaaniyati wa Arfiha, -dan selama aku masih mencari keutamaan ilmu dan takwa # aku tidak peduli rayuan si cantik dan harum baunya-, ujar Dicky, sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

Baca Juga :  BUKANNYA MEMBANTU, SEKDA BARU MALAH “MEMPERBURUK CITRA” PEMERINTAHAN DAMAI DI MATA MASYARAKAT BOALEMO

“Lalu, apa sebenarnya masalahmu, nak?” tiba-tiba suara terdengar agak keras dari bawah. Mbah Sofyan tiba-tiba muncul dengan tongkat kayu di tangan kirinya, dan sebatang rokok yang diapit oleh dua jari tangan kanannya. Orang-orang yang lagi berkumpul di atas bukit langsung berdiri untuk bersalaman dengan mbah Sofyan. Tapi, belum sempat beranjak dari tempat masing-masing, keinginan mereka langsung ditolak. “Sudah-sudah, kalian duduk saja,” ujar mbah Sofyan dengan nafas yang masih terengah-engah. Dicky yang sudah berdiri, kembali duduk seperti semula. Namun, kali ini dia menghadapkan badannya ke arah mbah Sofyan yang masih mencari tempat yang pas untuk beliau duduki.

Meskipun sudah sepuh –mungkin yang paling tua di antara orang-orang yang datang menyambangi Dicky ke bukit— Mbah Sofyan masih terlihat cukup bugar diusianya yang mendekati kepala delapan. Di sisi lain, beliau merupakan pemuka agama yang sangat disegani di kota Heritage karena keluasan ilmu agamanya. Beliau juga bersahabat karib dengan almarhum mbah Mufid, kakek Dicky. Keduanya pernah bersama-sama mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren yang ada di Pasuruan, Jawa Timur. Dari mbah Sofyan pula, semangat belajar Dicky berawal. Karena, selain kakeknya yang meninggal saat Dicky masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mbah Sofyan lah menjadi sosok tempat Dicky bertanya. Cerita tentang kakeknya yang terlalu semangat belajar, sampai-sampai lupa kalau sudah menikah dan mempunyai anak, itu didapatkannya dari mbah Sofyan.

“Mbah, tolong bacakan kembali nasihat tentang kebahagiaan yang pernah Guru mbah sampaikan ke mbah tempo hari,” kata Dicky saat semuanya hening karena segan membuka suara. Mbah Sofyan terkejut, matanya menatap Dicky lekat-lekat sambil mematikan rokok yang baru saja dinyalakan dan menarik nafas dalam-dalam. Lalu, beliau memulai berbicara: “Maukah kau meraih kebahagiaan wahai anakku? Tanya guru saya saat itu. Saya menjawabnya, iya. Guru saya lalu berkata: seandainya saja hatiku bisa dibelah dua, maka aku telah membelahnya. Sebelah diisi dengan agama dan tauhid dan, sebelahnya aku isi dengan kecintaan kepada Ahlul Bait. Seandainya mencintai keluarga nabi Muhammad (Ahlul Bait) membuatku berdosa, maka itulah dosa yang aku tidak akan memohon ampun. Barangsiapa yang tidak mewajibkan mencintai Ahlul Bait, maka nerakalah tempatnya, walau pun dia shalat dan puasa. Camkan ini! Niscaya kau akan meraih bahagia di dunia dan akhirat.*

“Mbah, apakah sayyidina Husein anak dari imam Ali dan sayyidah Fathimah termasuk keluarga nabi?” “Tentu, malah sayyidina Husein merupakan cucu kesayangan Rasulullah Saw.” “Lalu kenapa Karbala mesti terjadi? Yang menyakitkan lagi, Karbala adalah pertikaian sesama kaum muslimin yang mengorbankan darah suci sayyidina Husein. Dan akhirnya, peristiwa Karbala menjadi catatan duka sejarah umat Islam.” “Benar, tapi begitulah ketentuan Allah.”

Dicky terdiam mendengar jawaban mbah Sofyan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah ketentuan Allah. Tapi, tidak lama kemudian dia kembali membuka suara: “Dulu, kakek sering bercerita tentang kisah nabi, kisah para sahabat, para ulama-ulama pembaharu, dan sejarah-sejarah tentang kebudayaan Islam dan keadidayaannya. Juga tentang keutamaan-keutamaan setiap bulan dalam penanggalan Islam. Tapi, waktu itu saya tidak begitu peduli apalagi mengerti. Cuma memang, saya senang mendengarkan kisah apalagi yang menceritakan adalah kakek.

Saya masih ingat, tepatnya di sini, di bukit ini, di tanggal yang sama dengan hari ini. Kakek pernah bercerita, suatu hari, Nabi Saw memangku sayyidina Hasan dan sayyidina Husein. Mereka bermain bersama dengan riang gembira. Mesra, sangat mesra sekali. Jibril yang sejak awal ada di situ dan memperhatikan mereka kemudian menghampiri Nabi. ‘Asslamu alaikum ya Rasulullah.’ ‘Wa Alaikumussalam ya Jibril.’ ‘Apakah engkau begitu mencintai dua cucumu ini, wahai kekasih Allah?’ Tanya Jibril pada Nabi. Nabi terperanjat mendengar pertanyaan malaikat itu. Namun Nabi tetap menjawabnya. ‘Ya, Jibril. Cinta, cinta sekali aku kepada mereka,’ kata Nabi. ‘Tahukan engkau wahai Nabi, nasib dua cucumu ini kelak? Hasan akan mati diracun dan al Husein akan mati dengan kepala terpenggal.’**

Baca Juga :  Tidak terbuka dengan Beasiswa dan Efektifitas Bus Sekolah. FRAKSI MB Soroti Dikpora Boalemo

Seperti yang saya katakan, waktu itu saya tidak begitu peduli apalagi mengerti. Namun, setelah saya membaca banyak buku sejarah di perpustakaan kakek atau yang ada di perpustakaan mbah Sofyan, saya mulai memahami cerita kakek tentang Husein yang elok rupa seperti Sang Musthafa kakeknya. Tentang al Husein, pemuda gagah perkasa yang berani menentang tirani penguasa.

Kini, Muharram telah tiba. Cerita itu kembali berputar-putar di kepala. Dan, entah mengapa setiap Muharram datang menyapa, hati saya merasa tercabik-cabik oleh luka. Membayangkan air mata Rasulullah yang tumpah saat Jibril datang memberi kabar tentang dua orang cucu kesayangan, anak dari anak tersayang. Hasan yang diracun, dan Husein yang syahid tanpa dishalati, tanpa dikafani.

Inilah alasan kenapa saya memilih menyendiri setiap Muharram datang. Sebab, setiap tiba Muharram, antara hati dan pikiran acapkali berkecamuk seakan terdapat luka yang menganga, terdapat duka yang membara. Selalu saja teringat darah suci yang tertumpah dengan kepala terpisah dari raga di tanah Karbala, dan semua itu terekam jelas oleh tinta sejarah. Yang disayangkan, banyak dari kalangan kita mengatakan lupakan saja kisah Karbala. Ia telah menjadi sejarah tanpa harus menguras air mata. Padahal, Karbala itu adalah nyata. Duka sejarah. Yang berarti luka kita semua.

Jadi, bagaimana mungkin kita bisa mengatakan lupakan saja, maafkan saja, sedangkan hati ini selalu menangis membayangkan kisah imam Husein yang disiksa sedemikian rupa. Dibombardir oleh mereka para penguasa. Ditinggalkan para pengikut setia, dan dikhianati oleh sahabat-sahabat terpercaya.

Saat itu, tanpa belas kasihan, al Husein dibiarkan kehausan tak berdaya. Tubuh yang bersimbah darah itu bukannya diberi minum untuk melepaskan dahaga, malah sebaliknya, diserang membabi buta hingga terkapar tak bernyawa.

Coba kita bayangkan betapa perihnya perjuangan cucu Rasulullah untuk mempertanyakan haknya. Dan bisa jadi perihnya saat itu, lebih sakit dari apa yang saya bayangkan saat ini. Tiga puluh luka sabetan pedang, tiga puluh empat tancapan tombak di badan, dan seratus delapan puluh empat anak panah merobek-robek tubuh cucu tersayang Rasulullah.

Suara jeritan dan raungan para saudara perempuannya dan tangisan si kecil Ali, satu-satunya anak laki-laki yang masih bayi tersisa saat itu, menggelegar mengangkasa. Tak terbayangkan, mereka keluarga Rasulullah dihinakan, digiring layaknya budak tawanan.

Isak pilu kehilangan dan ketakutan itu kemudian memuncak di 10 Muharram, saat kepala sang Imam dijadikan hiasan, ditancapkan di ujung tombak jadi bahan tontonan. Kisah ini tentunya bukan sembarang kisah yang setelah itu segera terlupa. Kisah Karbala adalah darah yang menjadi luka semesta alam raya.

Saya seperti ini, bercerita begini, bukan karena ada kemarahan atau pun dendam. Tapi, yang kita bicarakan ini tentang sesosok manusia pilihan, di mana pangkuan Rasulullah adalah tempat istirahatnya paling nyaman, dada Rasulullah jadi tempat bermainnya paling riang, punggung Rasulullah sebagai tunggangannya paling aman, dan liur Rasulullah adalah minumannya yang tak pernah tergantikan. Dialah al Husein, pemuda surga pemimpin para syuhada seperti yang sudah disabdakan. Yang mati dibantai di tanah Karbala pada hari Asyura.

Dengan demikian bagi saya, ini adalah kisah tentang cinta yang harus terus kita suarakan, kita abadikan bersama hembusan nafas kehidupan, kita satukan bersama aliran darah sampai tiba saatnya hari yang telah dijanjikan. Seperti nasihat yang pernah dinasihatkan kepada mbah Sofyan, jika mencintai al Husein sebagai bagian dari keluarga Nabi yang tak terpisahkan adalah dosa, maka itu adalah dosa yang saya tidak akan pernah memohon ampun. Walau terbuka seribu ampunan, meski ditawarkan beribu-ribu pengampunan. Jika mencintai mereka adalah dosa, maka saya rela menjadi pendosa, untuk selamanya,” tutup Dicky mengakhiri cerita tentang Muharramnya.

“Ayo-ayo, kita turun. Matahari mulai terbenam. Semuanya shalat maghrib berjamaah di masjid ya. Karena selepas maghrib sampai isya kita shalawatan untuk menyemarakkan Muharram. Saya sendiri yang akan memimpin, Insya Allah. Pak Rauf, nanti beri pengumuman ya, ujar Mbah Sofyan membubarkan perkumpulan itu.

“Allah itu Mahapencemburu. Dia mencemburui kekasihNya yang mencintai selainNya melebihi cinta kepadaNya. Itulah hikmah lain di balik Karbala yang luput kita pahami” bisik mbah Sofyan sambil merangkul dan menepuk-nepuk pundak Dicky…
~~

Tilamuta,
9 Muharram 1441 H.
Oleh: Man Muhammad

Berita Terkait

PEMKAB BOALEMO AJUKAN PROPOSAL PEMBANGUNAN SMA UNGGUL GARUDA KE PEMERINTAH PUSAT
Syarif Mbuinga Serap Aspirasi Masyarakat Boalemo: Apresiasi Sikap Politik yang Dewasa
Wabup Lahmudin Hadiri Launching Sekolah Perempuan Berdaya Boalemo Sekaligus Peringati Hari Kartini
Pemkab Boalemo Gelar Pasar Murah di Kecamatan Botumoito untuk Kendalikan Inflasi
Bupati Boalemo Buka Bimbingan Manasik Haji Tahun 1446 H/2025, Serahkan Uang Saku untuk Jamaah
Bersama Forkopimda, Bupati Boalemo Desak PT. PG selesaikan kewajiban untuk Daerah
Rum Pagau tekankan Disiplin ASN saat Pimpin Apel Kerja Pasca Lebaran
Pemkab Boalemo Persiapkan Launching Smart School
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 22 April 2025 - 23:22 WITA

PEMKAB BOALEMO AJUKAN PROPOSAL PEMBANGUNAN SMA UNGGUL GARUDA KE PEMERINTAH PUSAT

Selasa, 22 April 2025 - 19:33 WITA

Syarif Mbuinga Serap Aspirasi Masyarakat Boalemo: Apresiasi Sikap Politik yang Dewasa

Senin, 21 April 2025 - 12:52 WITA

Wabup Lahmudin Hadiri Launching Sekolah Perempuan Berdaya Boalemo Sekaligus Peringati Hari Kartini

Jumat, 18 April 2025 - 23:12 WITA

Pemkab Boalemo Gelar Pasar Murah di Kecamatan Botumoito untuk Kendalikan Inflasi

Rabu, 16 April 2025 - 12:20 WITA

Bupati Boalemo Buka Bimbingan Manasik Haji Tahun 1446 H/2025, Serahkan Uang Saku untuk Jamaah

Berita Terbaru