Trilogis.id_(Opini/Tajuk) — Kasus perzinahan yang menjerat Kepala Desa Diloato, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Anton Naki, kembali menjadi sorotan. Meskipun telah divonis bersalah oleh pengadilan, ia masih memegang jabatannya. Situasi ini memicu kebingungan dan protes dari masyarakat, yang merasa dilema antara aturan hukum dan tuntutan moral.
Putusan Pengadilan Negeri Tilamuta telah membuktikan Anton Naki bersalah atas kasus perzinahan, menjatuhkan vonis 6 bulan penjara. Namun, vonis ini tidak serta merta mengakhiri jabatannya. Regulasi tentang pemberhentian kepala desa memiliki dua jalur utama, yaitu jalur pidana dan jalur administrasi, yang masing-masing punya batasan berbeda.
Jalur Pidana: Ancaman Pasal Jadi Penentu
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut regulasi, pemberhentian kepala desa melalui jalur pidana hanya bisa dilakukan jika ia divonis bersalah dengan ancaman pidana penjara minimal 5 tahun atau menjalani hukuman penjara minimal 1 tahun. Kasus yang menjerat Anton Naki, yaitu perzinahan, dijerat dengan Pasal 284 KUHP dengan ancaman hukuman penjara paling lama 9 bulan.
Karena ancaman pidana dan vonis yang dijatuhkan di bawah batas minimal yang diatur dalam regulasi, pemerintah daerah secara yuridis tidak bisa langsung memberhentikan Anton Naki. Inilah celah hukum yang membuat sang kepala desa tetap bisa menjabat, meskipun sudah terbukti melakukan tindakan amoral yang merusak citra desa dan mengganggu ketentraman warga.
Jalur Administrasi: Prosedur Bertahap yang Rumit
Alternatif lain adalah pemberhentian melalui jalur administrasi, yang merujuk pada larangan kepala desa melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat. Proses ini juga diatur secara ketat, dengan tahapan yang harus dilalui:
- Teguran lisan
- Teguran tertulis
- Pemberhentian sementara
- Pemberhentian tetap
Masalahnya, jika kepala desa melaksanakan teguran-teguran tersebut, proses pemberhentian tidak dapat dilanjutkan. Dalam kasus Anton Naki, ia sempat diberhentikan sementara oleh Pemda Boalemo, namun kemudian diaktifkan kembali. Hal ini memicu protes besar dari masyarakat yang merasa bahwa kasus ini bukanlah masalah sepele yang bisa diselesaikan dengan teguran, melainkan pelanggaran etika dan moral yang terus menimbulkan keresahan.
Dilema dan Tuntutan Masyarakat
Meskipun secara hukum formal tidak memenuhi syarat untuk diberhentikan permanen, tindakan Anton Naki telah memicu ketidaknyamanan yang mendalam di masyarakat Diloato. Protes dan unjuk rasa telah berulang kali dilakukan, menuntut agar ia dicopot dari jabatannya.
Masyarakat berargumen bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas moral yang tinggi, dan perbuatan yang dilakukannya telah mencoreng nilai-nilai adat dan agama di Gorontalo.
Kasus ini menggarisbawahi adanya celah antara hukum positif (regulasi) dan hukum moral (nilai-nilai masyarakat). Meskipun pemerintah daerah terikat oleh aturan, tuntutan untuk mencopot kepala desa yang terbukti bermoral buruk semakin kuat.
Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah Boalemo untuk meninjau kembali mekanisme yang ada, agar tidak ada lagi pemimpin yang secara hukum “lolos” dari sanksi, sementara di sisi lain, keresahan masyarakat terus berlanjut.
Penulis : Kaka Enda