Trilogis.id – Tajuk
Oleh : Man Muhammad
Beberapa hari kemarin saya menerima sebuah rekaman pembicaraan seseorang yang entah siapa dengan Bupati Boalemo, Bapak Darwis Moridu. Rekaman pembicaraan yang kini mungkin sudah beredar luas di kalangan masyarakat Boalemo, pada intinya –menurut kesimpulan saya setelah mendengar rekaman tersebut—terkait masalah aksi demonstarasi besar-besaran yang akan digelar untuk menuntut Bupati atas kasus penganiayaan yang menyebabkan korban sepuluh tahun silam.
“Katanya”, kasus yang kembali dimunculkan dalam permukaan ini sudah dalam penanganan pihak yang berwenang, dan sudah ditetapkan menjadi P21, yang mana merupakan salah satu kode formulir sesuai Keputusan Jaksa Agung no.132/JA/11/94 tentang Administrasi Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana sebagai pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. Artinya, perkara dinyatakan siap untuk dilimpahkan ke Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sama halnya dengan apa yang sudah saya tuliskan sebelumnya perihal permasalahan ini, kali ini pun pertanyaan saya masih tetap sama; “apa sebenarnya yang menginisiasi kasus yang sepuluh tahun berlalu ini kembali diangkat ke permukaan? Kalau memang masih ada permasalahan yang belum diselesaikan, kenapa ada surat perjanjian damai dengan pihak keluarga korban yang ditandatangai di atas materai yang menyatakan bahwa kasus ini sudah selesai? Apa iya bahwa semua ini karena faktor politik?”
Melihat konstelasi politik yang akhir-akhir ini terjadi di Kabupaten Boalemo –mulai dari kebijakan mutasi ASN oleh Bupati yang terdapat pro-kontra, permasalahan mangrove di Pantai Ratu yang belum selesai, pembagian plasma sawit di Wonosari yang dinilai bermasalah, sampai kasus sepuluh tahun lalu yang diangkat kembali— sepertinya ada yang sengaja mengompori Bupati Boalemo untuk seperti itu atau, karena “ketidakbecusan” orang-orang terdekat Bupati (Tim Kerja Bupati Boalemo, khususnya) dalam memberikan masukan terkait bagaimana harusnya seorang pimpinan bersikap di ruang publik. Karena sebagai Tim Kerja Bupati, seharusnya mereka bisa lebih peka dalam memahami karakter Bapak Darwis Moridu. Agar hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan terjadi dalam setiap kebijakan Bupati sebagai Tauwa lo lipu bisa diminimalisir.
Perihal rekaman pembicaraan yang sudah beredar luas misalnya, di mana dalam rekaman tersebut Bupati Boalemo terdengar sedang marah-marah, bahkan menyebutkan beberapa nama lawan politiknya yang berbeda partai dengannya, termasuk Gubernur Gorontalo, Bapak Rusli Habibie.
Mari kita awali dengan seseorang yang menghubungi Pak Bupati lewat sambungan telfon untuk memberitahukan bahwa pada hari senin atau selasa akan ada sejumlah masa melakukan demonstrasi menuntut kasus sepuluh tahun lalu yang melibatkan Bupati Boalemo. Kemudian orang tersebut –yang menelfon bupati—menawarkan solusi untuk melakukan demo tandingan (dalam rekaman tersebut orang tersebut mengatakan “lawaniyondo/torang molawan” jadi asumsi saya dengan kata “lawaniyondo” yaitu demo tandingan). Bupati lalu mengatakan “polele ma’a limongoliyo waw japusingi” (katakan ke mereka saya tidak pusing). “Torang molawan, pak” orang itu kembali menegaskan. “cehh,nde hilalomota ja level olau olo timongolio. Ja paralu. Tidak perlu dilawan” (Ah, biarkan saja, mereka juga bukan level saya. Jadi tidak perlu –melakukan demo tandingan, pen). Selanjutnya, Bupati Boalemo dalam pembicaraan tersebut menyebutkan nama-nama politisi Gorontalo, termasuk Gubernur Gorontalo, Bapak Rusli Habibie, Bapak Adhan Dambea, dan Bapak Ishak Liputo. Saya tidak akan membahas itu, karena sudah diulas panjang lebar oleh teman-teman jurnalis dan, saya mengapresiasi itu. Salah satunya yang dimuat di “dm1.co.id.”
Alhasil, karena berbeda fokus dengan teman-teman jurnalis yang sudah memberitakan rekaman pembicaraan “marah-marahnya” Bupati Boalemo, maka dalam hal ini saya lebih memfokuskan tidak dalam marah-marahnya melainkan terhadap, ‘Apa sebenarnya inti di balik pembicaraan yang terjadi dalam rekaman tersebut?’
Terjadinya kemarahan tentunya karena ada sebab yang memulai. Sama halnya dengan Bupati Boalemo yang terdengar marah-marah ditelfon sudah pasti karena permasalahan yang membuatnya kesal lalu marah. Setelah berulang kali mendengarkan rekaman tersebut, ada beberapa poin yang membuat saya tertarik;
Pertama, masih seperti pertanyaan awal ditulisan saya sebelumnya, “ada apa gerangan, kenapa permasalahan ini diangkat lagi setelah sepuluh tahun berlalu? Bukannya sudah ada tanda tangan damai antara dua belah pihak yang bertikai di atas materai?
Kedua, penyebutan nama Gubernur Gorontalo dalam percakapan tersebut tidak lebih merupakan sebuah penguatan dari Darwis Moridu bahwa, siapa saja, siapa pun yang akan mendemonya, biarkan saja, dia tidak perduli, dia tidak ambil pusing.
Ketiga, sikap Bupati Boalemo, Bapak Darwis Moridu yang, menginstruksikan kepada para pendukungnya untuk tidak perlu melakukan demo tandingan. Meskipun “katanya” kasus ini sudah di tangan Kejaksaan, tetapi di sisi lain dia sudah berdamai dengan keluarga dan memiliki “kekuatan hukum” karena adanya surat “perjanjian damai” yang telah ditandatangai di atas materai. Menurut Bupati Boalemo, tidak perlu melarang orang untuk demontrasi terhadap dirinya, karena hal tersebut secara legal-formal sudah sesuai prosedur yang berlaku, dan para pendemo tentunya memiliki surat izin untuk melakukan demonstrasi.
Keempat, ini yang membuat saya sedikit kaget. Kalau kita simak baik-baik rekaman pembicaraan tersebut pada detik ke 00.17, penelfon bupati tersebut mengatakan begini, “Mo turun poli tati boti anak buah le …. (?) (anak buahnya si ….. (?) akan turun demo lagi). Anak buah siapa? Apa iya demo tuntutan atas kasus sepuluh tahun lalu sengaja diangkat karena motif-motif tertentu? Apa demo ini demo suruhan, karena pada pembicaraan tersebut menyebutkan “anak buah”?
Kelima, ini yang membuat saya terus bertanya-tanya perihal rekaman tersebut. Karena dari dua rekaman pembicaraan yang saya terima itu berbeda kualitas. Rekaman pertama merupakan rekaman di atas rekaman. Artinya, pembicaraan tersebut “sepertinya” direkam oleh orang yang berada di dekat Pak Bupati dengan menggunakan smartphone yang berbeda. Selain hanya suara bupati yang terdengar jelas, ada suara-suara lain yang sedang berbicara di situ. Sedangkan rekaman yang kedua, suara dari dua orang yang saling berbicara –antara pak Bupati dan si penelfon— itu terdengar sangat jelas. Bisa jadi memang “sengaja” direkam oleh salah satu dari yang saling berbicara. Akan tetapi sepertinya tidak mungkin Bupati Boalemo yang merekam pembicaraan tersebut lalu menyebarluaskan. Lalu siapa? “si penelfon bupati?” Kalau memang iya, kenapa? Ada apa sebenarnya? Mengapa rekaman pembicaraan –yang sangat jelas suara pembicaraan tersebut—bisa sampai ke khalayak ramai? Apa mungkin asumsi awal saya benar adanya, bahwa semua ini karena intrik politik? Wallahu A’lam
Tulisan ini dipertanggungjawabkan penuh oleh penulis