(Bagian 1)
Suara ombak tidak menggelegar di malam itu. Hanya titik-titik cahaya dari lampu perahu para nelayan yang pergi melaut menghiasi laut. Di bibir pantai tak ada yang terdengar selain desahan nafas dua pecinta yang saling beradu di udara, mencoba saling menyatukan takdir yangtak tentu arah. Mereka berdua diremuk redam jatuh dalam pelukan cinta tapi, sulit untuk saling bergenggaman tangan apa lagi mengharapkan mata yang saling bertatap-tatapan. Keduanya tenggelam dalam khayalan, dalam angan dan impian, dalam-dalam, sedalam gelap yang makin hilang ditelan malam.
~~~~~~~~~
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
(Setahun sebelumnya)
“Dulu, hegemoni wacana dan berbagai fungsi serta makna tindakan politik dengan alasan stabilitas nasional, memang banyak menguntungkan pihak penguasa. Ya, itu dulu. Sedangkan saat ini, yang terlihat para penguasa sibuk berdebat dengan diri dan kelompok sendiri hanya untuk saling menyalahkan satu sama lain. Relasi sosial dan politik pun terlihat rancu. Seperti sebuah cermin, konflik demi konflik yang terjadi tidak berbeda dengan kekonyolan dari sebuah panggung ketoprak humor yang hadir tanpa menyentuh problem kebangsaan dan kerakyatan. Ketika layar panggung ditutup, penonton pulang dengan terbahak,” tutur Arini memulai pembicaraannya dengan Kayam, teman dekatnya yang terlihat sibuk menyeduh kopi untuk mereka.
“Ya, entah disadari atau tidak, hari ini begitu sangat terasa, terlalu banyak parodi yang dipertontonkan para elite kita. Tapi, kamu jangan tegang gitu dong, Rin. Ini kopinya, rokok buatku mana?” ujar Kayam menanggapi ocehan Arini sembari menyodorkan secangkir kopi dengan meminta barter sebungkus rokok.
“Kebiasaan. Selalu gak punya modal,” gerutu Arini sambil melemparkan sebungkus rokok Dji Sam Soe ke arah Kayam.
“Di luar dinging, Ariniiiii. Tadi kamu sendiri terlihat menggigil kedinginan, makanya aku buatkan kopi. Apalagi hujan dan angin ribut barusan berhenti, banyak pohon yang tumbang. Warung-warung pasti sudah pada tutup. Lagian, sekarang sudah pukul satu malam.” Jawab Kayam membela diri.
“Ah, dari kemarin-kemarin alasanmu itu-itu saja. Hujan atau tidak, pokoknya kamu selalu saja miskin. Dasar, laki-laki gak punya modal. Oh iya, Kay. Jika diperhatikan sekilas, ada benarnya juga apa yang dituliskan oleh Bernard Lewis dalam bukunya yang berjudul Assasin. Lewis menuliskan: Ketika kekuasaan Abbasiyah sudah tidak lagi berdasar atas kesejahteraan rakyat dan lebih banyak mengenyangkan perut dan kepuasaan selangkangan para penguasa, ada beberapa orang yang sengaja diutus untuk membunuh penguasa itu. Mereka yang ditugaskan untuk membunuh atau para assasin ini akan dibawa oleh pemimpinnya ke suatu lembah yang dinamakan lembah Alamut. Di lembah Alamut ini diadakan pencucian otak dengan ‘obat’ tertentu dan doktrin selama semalam. Saat dalam penugasan, para assasin ini hanya mempunyai dua pilihan; penguasa yang mati atau, dia yang terbunuh. Menurut Lewis, obat itu seperti candu –di era ini— dan dalam doktrin itu dia akan diajak berdzikir tentang ayat penguasa yang dzalim, syahid, dan ganjaran surga yang dipenuhi kenikmatan yang tiada tara.” Kembali Arini membuka percakapan dengan sebuah penjabaran yang panjang, sambil sesekali menyeruput kopinya.
“Iya, lagi-lagi kamu benar, Arini. Tapi, apa itu sejarah? Sekilas mungkin kita akan mengatakan bahwa sejarah hanyalah sebuah kejadian yang dituturkan oleh orang-orang yang tidak berada dalam kejadian itu. Ya, contohnya seperti tulisan Bernard Lewis yang kamu katakan barusan. Namun, jangan salah, subjektifitas dalam sejarah pun tak bisa dielakkan. Pasti akan ada penambahan, ada pengurangan, dan bisa jadi ada kebohongan. Dan jika ditarik lebih jauh lagi, pada intinya ada kepentingan. Simpelnya, tidak ada kebenaran mutlak dalam sejarah. Ucapanmu barusan seakan menggugat banyak kalangan. Mungkin, tidak secara langsung kamu telah mengatakan bahwa mereka menjalankan ibadah hanya bersifat formalistik belaka. Tidak substantif. Makanya, nilai-nilai sosial keberagamaan sering diabaikan atau, bisa jadi mereka kacaukan. Kan tolol jadinya. Justifikasi ibadah sebuah agama dalam hal-hal keberingasan sangat tidak dibenarkan. Tidak ada agama yang mengajarkan tentang keberingasan. Apalagi menggunakan dalil dalam kitab suci. Tapi, dalam beberapa sisi aku tertarik dengan yang kamu katakan. Cuman, sepertinya bukan pencucian otak yang lebih tepat, melaikan sebuah parodi, seperti yang aku katakan tadi. Kenapa parodi? Karena, yang mengambil peran utama sebagai pemimpin assasin adalah para penguasa, dan menjadikan beberapa orang dari rakyatnya sebagai pemeran pembantu. Ya, mereka penulis skenario, mereka pemerannya, dan mereka sutradaranya. Lalu, sebagian dari rakyat negeri kita dibuat bingung dan sebagian lainnya dibuat terbahak. Kira-kira, seperti kejadian penikaman terhadap panglima perang beberapa hari kemarin deh,” ujar Kayam panjang lebar sambil tertawa terbahak mengingat kejadian yang sempat heboh di media sosial.
“Asal kamu tahu ya, Arini. Parodi penikaman kemarin itu, hanya untuk mengelabui dan menutupi pembantaian yang terjadi di ujung timur Indonesia, dan kekurangajaran seorang publik figur di depan kamera yang mengata-ngatai ‘sesat’ dengan suara keras sambil menunjuk-nunjuk wajah orang tua yang ada di hadapannya. Padahal, dia sadar ada di depan kamera, sebagai publik figur, kader partai penguasa, dan di tonton oleh masyarakat luas. Coba lihat Papua hari ini. Sudah berapa banyak nyawa yang melayang tanpa pandang sayang. Sudah sampai di mana nasib undang-undang yang diperdebatkan. Sudah terlaksanakah sebuah kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai amanat yang harus terus ditegakkan oleh segenap kita yang mendaku Indonesia? Sebentar lagi lho ulang tahun kemerdekaan kita yang ke 74,” kembali Kayam mencecar.
“Ah, kamu kepanjangan bicaranya, Kayam. Padahal Aku hanya ngomong gitu doang.” “Hinjeeeeehhhh,” jawab Kayam sambil berjalan ke arah kamar, dan Arini hanya cekikikan melihat tingkah Kayam, karibnya…
~~~~~~~~
~~~~~~~~
“Jadi, kita ini harus bagaimana?” tiba-tiba pertanyaan Arini memecah keheningan di antara mereka. “Entahlah, aku pun tidak memiliki jawaban atas nama kita,” jawab Kayam dengan terus menatap ke arah langit yang makin kelam. Arini tidak lagi menanggapi. Hanya pandangannya diarahkan ke arah laut yang hening yang dipeluk pekatnya gulita. Tatapannya diam dan tenang. Bersama malam yang larut dalam kenang.
“Ayo kita pulang, Arini,” ajak Kayam kepada Arini lewat dua jam tanpa suara setelah jawaban “entahlah” terlontar. Arini beranjak, juga tanpa suara, diikutinya Kayam yang menuju parkiran dari belakang. Mereka berdua mengambil motor masing-masing. Baru saja keluar pintu gerbang Pantai Kurinay, “braaaaakkkkkkkkkk” Kayam terpental, motornya ditabrak orang yang melaju dari arah selatan. Arini berteriak minta tolong, ia ketakutan, air matanya jatuh dari balik kaca mata yang selalu menemaninya ke mana-mana. Tapi tetap saja tak ada suara. Kayam tetap diam tak sadarkan diri dan, Arini terus sesenggukan melihat cucuran darah yang terus keluar dari mulut Kayam…
Bersambung……..!!!!
Oleh: Man Muhammad