Trlilogis.id_(Tajuk_Gorontalo) – Pelesetan sarjana hukum (S.H.) yang terlampau tajam dan mengguncangkan, terpampang di setiap lensa. Betapa tidak mengusap dada, sulit untuk dibantah bahwa keringat dan air mata mungkin telah banyak mengucur ketika banyak manusia yang berjuang di jalur studi strata satu yang terkadang rumit dengan aneka kondisi. Hingga akhirnya berhasil menyelesaikan masa belajar dan berhak untuk menyandang gelar sarjana yang beragam. Salah satunya adalah gelar sarjana hukum (S.H.), yang Rabu 24 Juli 2024 kemarin diganti dengan sengaja melalui keyboard gawai serta gambar, dengan sebutan (S.H.) sebagai singkatan dari sarjana h*tu (kemaluan laki-laki/zakar dalam bahasa Gorontalo).
Alasan apapun yang berhasil menjadikan ide “(S.H.) sarjana h*tu” itu nyata dihadapan setiap netra, sepertinya telah sukses bikin sakit hati massal para penyandang gelar (S.H.) sarjana hukum, juga mungkin termasuk para mahasiswa hukum yang sedang berada di medan juang untuk ilmu dan gelar itu. (S.H.) sarjana hukum adalah gelar akademik yang dicitakan banyak manusia, gelar yang penuh wibawa serta gelar yang menjadi harapan segala tulang punggung ketika membiayai anak-anaknya dalam ikhtiar saat kuliah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ignorantia Juris Non Excusat – Ketidaktahuan Akan Hukum Tidak Dimaafkan
Perkenankan untuk berbagi wawasan untuk manusia yang mengendalikan akun Instagram “Gorontalo Karlota”, tentang gelar yang diubah dengan amat vulgar itu diatur melalui ketentuan yuridis, yakni Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, SertifikatProfesi, Gelar, dan Kesetaraan Ijazah Perguruan Tinggi Negara Lain. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 4 dalam peraturan itu, “Gelar adalah sebutan yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada lulusan pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi”. Selanjutnya tentang penulisan gelar sarjana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dalam peraturan yang sama, yakni:
“Gelar dan tata cara penulisan Gelar untuk lulusan pendidikan akademi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. sarjana, ditulis dibelakang nama lulusan program sarjana dengan mencantumkan huruf “S.” dan diikuti dengan inisial pohon dalam rumput ilmu pengetahuan dan teknologi atau inisial nama program studi;
Berdasarkan ketentuan itu, maka gelar sarjana hukum ditulis atau disingkat menjadi “S.H.” Bahkan sejak zaman Menteri Fuad Hassan, ihwal gelar ini diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan PerguruanTinggi (Lampiran I Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1993 tanggal 9 Feburari 1993 tentang Jenis Gelar Akademik Sarjana). Tetapi, terlampau kasar ketika di 2024 Masehi yang serba canggih ini, gelar sarjana hukum diubah dengan ‘gembira’ menjadi sarjana hu*u (S.H.) untuk konten yang juga menghajar citra manusia.
Entah apa yang ada dalam benak sang pengunggah konten menyakitkan itu. Menganggap hal itu komedi? Bermaksud agar jenaka? Tidak. Ini bukan lelucon. Ini kekecewaan yang serius dan seluruh. Melalui gelar sarjana hukum (S.H.) banyak manusia-manusia yang sukses menuntaskan amanah dan melengkapi segala mimpi orang tua agar anaknya tamat belajar di kampus. Sebab gelar sarjana hukum (S.H.) banyak insan berhasil menebus cita-cita sebagai seorang profesional, menjadi advokat, hakim, jaksa, polisi, diplomat, dosen, notaris, menteri, dan profesi lainnya. Sarjana hukum (S.H.) bukan sekadar gelar terhadap sebuah nama dan sebuah cerita. Namun, sebagai salah satu amanah keilmuan dalam kehidupan sebelum menjumpai mati yang niscaya. Tentang semua itu kemudian dipermainkan dengan terencana? Permohonan maaf tentu akan muncul atau sesal mungkin telah hadir di kalbu manusia di balik itu. Saling memohon maaf dan memaafkan adalah salah satu garis hidup kita sebagai manusia. Namun, siapa pun manusia di balik pelesetan yang terlanjur melukai itu, sebagaimana di negara hukum ini, kata yang diganti (hukum) itu akan menemukanmu sesuai dan melalui cara hukum itu bekerja.
Ignorantia excusatur non juris sed facti – ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan, tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.
Penulis:Ricki J. Monintja, S.H. ǀ Wakil Ketua (Bidang Pendidikan, Ujian, dan Pendidikan Lanjutan) Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia Provinsi Gorontalo (DPD KAI Gorontalo).