Oleh ; Guslan Batalipu – Pegiat Pemilu
Trilogis.id – Masalah tenaga kontrak (tekon) kembali muncul dipermukaan. Hal ini menegaskan bahwa cerita pilu tenaga kontrak tersebut adalah persoalan laten yang tak pernah ada ujungnya. Informasi dari kawan-kawan di Boalemo ada kurang lebih tiga ribu tekon berpotensi untuk dirumahkan. Artinya orang-orang dalam jumlah besar itu berpotensi menganggur. Rata-rata dari mereka di dominasi oleh usia produktif.
Lalu, apakah hal ini betul-betul tidak bisa lagi dipikirkan? Seperti apa jalan keluarnya ? apakah pemerintah daerah harus merumahkan mereka? Apakah setelah dirumahkan tekon-tekon itu dijaminkan lapangan pekerjaan? Tentu penulis bukan penentu kebijakan yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tulisan ini hanya mengulas bagaimana mengembalikan atau mendudukan rasa ingin tahu tersebut sesuai dengan peran dan fungsi para pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Merujuk pada Pasal 96 PP 49/2019 mengatur sebagai berikut: pertama, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. Kedua, larangan sebagaimana dimaksud berlaku juga bagi pejabat lain dilingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK. Ketiga, PPK dan pejabat lain yang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan pegawai non-PNS dan non-PPPK antara lain: pegawai yang saat ini dikenal dengan sebutan tenaga honorer atau sebutan lain (hukumonline.com).
Pemerintah Daerah sebagai Garda Terdepan
Persoalan tenaga kontrak bukan hanya terjadi di Boalemo. Namun, tidak berarti pemerintah daerah (Pemda) bersikap permisif atau menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Sudah jelas ketika daerah menghadapi masalah baik itu kecil maupun besar, pemerintah daerahlah dalam hal ini Pj Bupati harus tampil didepan untuk menjelaskan secara baik serta berkomitmen akan membereskan masalah tersebut hingga tuntas.
Hal ini senada dengan guru besar Universitas Indonesia (Maswadi Rauf, 2023) mengatakan bahwa setiap persoalan demokrasi yang berhubungan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, kebijakan publik, dan apapun itu penanggung jawab utamanya adalah pemerintah. Hal ini berlaku disemua tingkatan dari pusat hingga daerah.
Di Provinsi Gorontalo, Boalemo termasuk daerah/kab yang gagap serta gagal mengelola APBD. Secara umum dalam penyelenggaraan pemerintahan, rata-rata kab/kota hanya begantung pada dana sharing dari pemerintah pusat. Dan kita tergolong juga sebagai daerah dengan belanja modal, dan belanja pegawai yang sangat tinggi. Nyaris tidak bisa berharap pada pengelolaan sumber daya alam atau pendapatan lain-lain diluar APBD. Maka, akibatnya kemudian, semua pihak yang berkepentingan terhadap APBD cenderung berebutan kue APBD. Hal ini menarik untuk dilihat lebih jauh kira-kira porsi APBD lebih bayak di pihak/intitusi yang mana.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Mungkin jawabannya bisa kita temukan di DPRD. Penulis sedikit mengenal setidaknya beberapa tokoh atau penghuni gedung rakyat itu. Mengetahui pikiran-pikirannya, kerja-kerjanya, kebijakan-kebijakannya baik secara langsung maupun dari cerita-cerita di warung-warung kopi atau spot-spot tongkrongan para aktivis Boalemo. Serta mengenali kebijakan-kebijakannya yang dilahirkan.
Namun sejauh ini aktifitas DPRD masih saja sama, datang berkantor, rapat, bahas projek. Belakangan ini jika kita ditanya tentang DPRD, maka kita akan lebih mengenal mereka sebagai produsen pokok-pokok pikiran (Pokir). Pokir yang dipahami oleh anggota dewan sendiri berbeda dengan definisi yang penulis pahami. Jika diterjemahkan, menurut hemat penulis Pokir adalah modal yang dikelola oleh para anggota dewan untuk memelihara kepentingan elektoral demi untuk mempertahankan kontinuitas (kelanggengan) kursi kekuasaan di parlemen.
Kawan-kawan aktivis di Boalemo meyakini bahwa Pokir tersebut merupakan sumber kekacauan dalam konteks pengelolaan keuangan daerah. Sebab, Pokir mendominasi dalam postur APBD. Olehnya, dinas-dinas atau OPD (organisasi pemerintah daearah) menyusun program berdasarkan pokir – pokir tersebut. Dengan arti lain OPD cenderung menjadi pelayan kepentingan individu-individu politisi atau raja-raja kecil itu.
Jika anda rajin merekam perjalanan DPRD hingga saat ini, maka kita akan mudah melihat sejauh mana DPRD berhasil menjadi representasi rakyat. Sayangnya tidak ada yang sudi mengabadikannnya. Namun, beberapa memori kolektif kita belum sepenuhnya pudar. Dalam catatan perjuangan para kaum pergerakan di Boalemo bahwa, terkait nasib tekon kerap kali absen dalam pembahasan mereka. Mungkin ada, namun hanya bersifat normatif. Kawan-kawan mungkin ingat, pernah ditahun 2021 ketika masa-masa covid-19 dan disaat itu masalah upah tekon belum terbayar juga menghantui kita, disaat yang sama DPRD pernah ada saving anggaran dua miliar untuk perjalanan dinas akhir tahun, yang kita tahu bersama mereka memperjuangkannya mati-matian. Scene ini memperlihatkan minimnya kepedulian mereka terhadap tekon.
Kawan-kawan Aktivis
Memang mengharapkan DPRD dan Pemda akan sedikit membuat kawan-kawan kecewa, pesimis bahkan apatis. Namun apakah itu jalan keluar yang terbaik? Kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Pemda saat ini. Terlebih penulis. penulis hanya sebatas memberikan analisa dan hitungan-hitungan tertentu bagaimana kepentingan para tekon bersama dengan para Aktivis Boalemo dalam menyuarakan aspirasinya bisa mendapatkan alternatif yang sesuai harapan. Mungkin saja sementara tulisan ini disusun kawan-kawan tengah berhadapan, ber-musyawarah dengan Pemda. atau tengah menyampaikan aspirasi lewat demontrasi. Atau telah selesai membangun komitmen bersama, atau mungkin saja kawan-kawanku sekalian telah mendapatkan jawaban meskipun kurang konkret dari pemangku-pemangku kepentingan itu.
Memang harus berbesar hati mengakui bahwa kita masih terjebak pada pekerjaan kantoran dengan pakaian yang rapi dan schedull tetap, yang rutinasnya diatur by sistem. Memang agak keren sih hehe, jika dibandingakan dengan kerja yang tidak terlihat resmi. Tapi hal tersebut bukan salah kawan-kawan sekalian.
Sebetulnya anak muda memiliki banyak peluang untuk menciptakan peluang kerja selain menjadi pegawai negeri sipil atau tekon. Tentu kita membayangkan generasi muda Boalemo dengan beberapa ide dan langkah yang dapat diambil seperti berwirausaha, freelancing, membuat startup, bergelut pada aktivitas pendidikan dan pelatihan, menjadi konsultan, menekuni pertanian dan agribisnis, teknologi digital, seni dan hiburan, menjadi pekerja sosial dan lingkuangan, aktif didunia pendidikan dan pelatihan keterampilan, franchise dan bahkan berinvestasi.
Artinya kita sebagai orang muda memang membutuhkan banyak experiment untuk mendapatkan pengalaman yang matang. Persolannya adalah mindset dan keberanian kita saja. Kemudian bagaimana menerapkan peluang-peluang itu ditempat dimana kita tinggal. Peluang-peluang ini memang cukup menantang jika diterapkan di Boalemo namun bukan berarti mustahil. Hanya saja lingkungan kita saja yang kurang bisa menjadi ekosistem pendukung ide-ide tersebut. Mungkin saja ini ranah pemerintah untuk mengintervensi agar ekosistem ini tumbuh dan tercipta. Jangan tanya apakah mereka mau atau tidak. Tugas kita adalah mendorong hal tersebut. Kita tidak sedang mengkritisi pemerintah, yang kita lakukan adalah membantu mengingatkan pemerintah bahwa mereka harus melakukan kerja yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Sebab, hal itu sebagai bentuk pengabdian mereka kepada rakyat.
Terakhir, Pemda dan DPRD harus bersikap tegas dan jelas. Pilihannya hanya dua : pertama, apabila ingin menghapuskan tenaga kontrak, maka carikan solusi selanjutnya apa. Kedua, apabila akan mempertahankan tekon, pikirkan bagaimana APBD mampu untuk menggaransi kesejahteraanya. Kalau punya solusi terbaik diluar pilihan tersebut diperkenankan. Salam sehat.