Trilogis.id_(Tajuk/Opini) — Pemecatan Wahyu Moridu oleh DPP PDI Perjuangan dari keanggotaan partai sekaligus DPRD Provinsi Gorontalo bukanlah sekadar urusan internal organisasi. Kasus ini menjadi cermin betapa pentingnya menjaga integritas lembaga legislatif serta konsistensi partai politik dalam menegakkan disiplin kader.
Secara hukum, dasar pemberhentian antar waktu sudah jelas. Pasal 239 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa anggota DPR/DPRD dapat diberhentikan antar waktu apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partainya. Kekosongan kursi tersebut wajib diisi oleh calon legislatif peraih suara terbanyak berikutnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 240 UU Pemilu serta PKPU Nomor 6 Tahun 2017 tentang PAW.
Dalam konteks ini, nama Dedi Hamzah muncul sebagai calon kuat pengganti Wahyu Moridu. Secara yuridis, hal itu sah sepanjang ia merupakan caleg dengan suara terbanyak berikutnya. Namun, perdebatan muncul ketika publik mencermati fakta bahwa Dedy Hamzah saat ini juga mencalonkan diri sebagai Bupati dalam Pilkada mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sinilah problem etika dan efektivitas representasi rakyat muncul. Apabila Dedy Hamzah benar-benar ditetapkan sebagai anggota DPRD melalui mekanisme PAW, maka berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ia wajib mengundurkan diri jika tetap maju sebagai calon bupati. Artinya, kursi DPRD yang baru saja terisi berpotensi kembali kosong, dan partai harus mengulang proses PAW.
Opini redaksi menilai, ada tiga poin penting:
-
Hak politik Dedy Hamzah tidak bisa diabaikan. Ia berhak atas kursi PAW jika memang sesuai urutan suara.
-
Namun, etika politik harus dikedepankan. Jika fokus pada Pilkada, lebih baik memberikan ruang kepada caleg berikutnya agar kursi DPRD tidak kembali kosong.
-
Partai politik memegang kunci. DPP PDI Perjuangan perlu menimbang kepentingan jangka panjang: apakah lebih strategis mendorong Dedy Hamzah di Pilkada atau memberinya kursi PAW DPRD.
Demokrasi akan kehilangan makna jika PAW hanya dilihat sebagai transaksi politik jangka pendek. Sebaliknya, jika partai berani menempatkan kepentingan rakyat di atas kalkulasi elit, maka kasus Wahyu Moridu bisa menjadi momentum perbaikan.
Redaksi berpandangan: PAW seharusnya bukan arena manuver pribadi, melainkan mekanisme untuk memastikan suara rakyat tetap hidup di lembaga perwakilan.
Penulis : Redaksi